Metafisika dalam Agama dan Manfaatnya (Filsfat ilmu)

Metafisika dalam Agama dan Manfaatnya
(Filsfat ilmu)

Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan hidayahnya penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Metafisika dalam Agama dan Manfaatnya” Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas mata mata kuliah Filsafat Ilmu.
Dalam kesempatan ini Saya mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada Bapak Wisnu Djatmiko selaku dosen matakuliah Filsafat Ilmu.
Saya menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari sempurna, baik dari segi penyusunan, bahasan, ataupun penulisannya. Oleh karena itu Saya mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun, khususnya dari pembaca guna menjadi acuan dalam bekal pengalaman bagi Saya untuk lebih baik di masa yang akan datang.

Jakarta, 05 Januari 2015

Penyusun






Daftar Isi
Kata Pengantar................................................................................................. i
Daftar Isi.......................................................................................................... ii
Bab I Pendahuluan.......................................................................................... 1
1.1.   Latar Belakang................................................................................... 1
1.2.   Rumusan Masalah.............................................................................. 1
1.3.   Hipotesis............................................................................................. 1
1.4.   Tujuan Penulis................................................................................... 1
1.5.   Manfaat.............................................................................................. 2
1.6.   Metode Penyusunan........................................................................... 2
Bab II Pembahasan.......................................................................................... 3
A.    Pengertian Metafisika............................................................ 3
B.     Sejarah Metafisika................................................................. 4
C.     Perkembangan Metafisika...................................................... 6
D.    Metafisika dalam Agama....................................................... 9
E.     Manfaat Metafisika dalam Kehidupan.................................. 13
Bab III Penutup.............................................................................................. 20
3.1.   Kesimpulan....................................................................................... 20
3.2.   Saran................................................................................................. 20
Daftar Pustaka................................................................................................ 21

Bab I
Pendahuluan
1.1.   Latar Belakang
1.                Kurangnya pengetahuan kita tentang sejarah Metafisika
2.                Kurangnya pengetahuan kita tentang perkembangan ilmu Metafisika
3.                Manfaat ilmu Metafisika banyak yang belum mengetahui.
1.2.   Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Metafisika itu sendiri?
2.      Bagaimana sejarah metafisika?
3.      Apa saja manfaat ilmu Metafisika?

1.3.   Hipotesis
1.      Metafisika adalah ilmu yang mempelajari sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh panca indera, artinya objek ilmu tersebut ada tetapi tidak dapat dilihat
2.      Metafisika telah ada sejak Adam diciptakan. Ia juga melakukan praktek metafisika, yaitu minimal bertanya dan mencari jawabannya. Aristoteles tidak pernah menamakan pengetahuan tersebut dengan nama metafisika. Istilah Metafisika muncul ketika para peneliti pemikiran
3.      Istilah Metafiska di ciptakan oleh para peneliti pemikiran Aristoteles
4.      Manfaat metafisika dalam kehidupan sehari-hari:
a)      Sebagai perlindungan diri
b)      Sebagai pengendali diri
c)      Media pengobatan
d)      Meramal kejadian.
1.4.   Tujuan Penulis
1.      Memenuhi tugas akhir semester yang diberikan oleh Dosen
2.      Sebagai media pembelajaran untuk memperdalam pengetahuan kita tentang ilmu Metafisika.
1.5.   Manfaat
Adapun manfaat dari karya ilmiah ini yaitu dapat menambah pengetahuan kita tentang sejarah Metafisika dan perkembangannya, kita dapat lebih mengetahui tentang manfaat atau kegunaan dari ilmu Metafisika, selain itu karya ilmiah ini juga dapat digunakan sebagai media pembelajaran untuk memperdalam pengtahuan kita tentang ilmu Metafisika.
1.6.   Metode Penyusunan
Sumber data penyusunan karya ilmiah ini adalah dari buku-buku filsafat. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan membaca buku filsafat dan menarik kesimpulannya. Alat yang digunakan adalah buku-buku filafat dan pedoman penulisan karya ilmiah. Data yang telah masuk dianalisis dengan metode deskriptif kuantitatif menggunakan statistik sederhana yaitu prosentase dan deskriptif kualitatif dengan langkah-langkah reduksi data, display data, dan verifikasi/penarikan simpulan. Setelah data dikumpulkan lalu dipilih yang benar-benar memiliki hubungan dengan pokok masalah selanjutnya diambil kesimpulan.










Bab II
Pembahasan
A.   Pengertian Metafisika
Wikipedia Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa metafisika berasal dari bahasa Yunani, yaitu meta (μετά) yang artinya setelah atau di balik dan phúsika (φύσικα) yang artinya fisika atau hal-hal yang ada di alam raya. Jadi, metafisika berarti setelah fisika atau dibalik fisika. Tafsiran pengertian metafisika dari sisi bahasa ini menjelaskan bahwa metafsika adalah nama pemikiran Aristoteles yang ditempatkan oleh para penyusun karya-karyanya setelah pemikiran mengenai fisika.
Pengertian etimologi ini sekilas tampak remeh temeh dan mudah dipahami.. Namun kalau direnungkan dengan menggunakan pemikiran filosofis, pengertian ini tidak se-remeh temeh yang dikira. Kenapa? Karena pertanyaan tentang apa yang ada setelah fisika atau dibalik fisika, tidak mudah untuk dijawab. Pertanyaan ini memerlukan pemikiran mendalam. Pengertian metafisika dari sisi filosofis inilah yang tampaknya lebih pas untuk mengartikan metafisika dibanding dari sisi bahasa. Pengertian filosofis ini menjadi salah satu pengertian metafisika secara terminologi.
Salah satu kamus bahasa Inggris menjelaskan bahwa metafisika (metaphysics: bahasa Inggris) adalah “branch of philosophy dealing with the nature of existence, truth, and knowledge”. Dari sisi terminologi ini, metafisika dipahami sebagai cabang filsafat yang berkenaan dengan hakikat keberadaan, kebenaran, dan pengetahuan. Studi ini menjadi bagian dari kajian ontologis, yaitu cabang filsafat yang menjelaskan hakekat segala sesuatu. Immanuel Kant berpendapat bahwa metafisika menjawab pertanyaan tentang “apa yang dapat diketahui?” Oleh karena itu, wajar kalau pengertian metafisika bergerak dari segala sesuatu yang ada yang bisa diketahui.
Gambaran tentang metafisika ini dijelaskan oleh Jujun S. Suriasumantri. Menurutnya, matafisika ini menjadi pijakan pemikiran filsafat dan pemikiran ilmiah. Ia mengibaratkan metafisika sebagai landasan peluncuran roket. Sementara pemikiran adalah roketnya. Penjelasan ini ingin menegaskan metafisika sebagai sesuatu yang penting untuk bisa memahami filsafat dan sain.
Dalam buku IV Aristoteles mengatakan bahwa ada suatu ilmu yang bertugas mempelajari ‘yang ada, sejauh ada’ (to on hei on; “being as being atau “being as such”). Maksudnya tidak lain dari pada metafisika, biarpun di sini, ia tidak memberi nama khusus kepada ilmu ini. Mempelajari ‘yang ada sejauh ada’ berarti menyelidiki kenyataan seluruhnya (jadi, objek yang paling luas). Dengan itu metafisika berbeda dengan ilmu kedokteran umpamanya yang hanya mempelajari sebagian realitas saja (kesehatan tubuh). Metafisika juga berbeda dengan fisika dan ilmu pasti yang memang mempelajari seluruh, tetapi hanya menurut aspek tertentu saja. Karena, fisika mempelajari gerak benda-benda dan ilmu pasti menyelidiki benda-benda menurut aspek kuantitas. Tetapi metafisika menelaah kenyataan seluruhnya sejauh “yang ada” merupakan sesuatu. Dengan lain perkataan, metafisika mempelajari kenyataan sebagai “adaan” (being). Karena sifatnya sama sekalu umum, metafisika dalam arti ini boleh disebut ilmu yang tertinggi. Penjelasan ini menegaskan bahwa objek metafisika sangat luas. “Apa yang bisa diketahui sejauh bisa diketahui” atau “apa yang ada sejauh ada” adalah objek metafisika. Namun sekalipun luas batasannya, metafisika tidak bisa mengetahui apa yang tidak bisa diketahui dan ia tidak mempelajari yang tidak ada. Inilah batasan objek metafisika. Pertanyaanya adakah sesuatu yang tidak bisa diketahui? atau adakah sesuatu yang tidak ada? Mungkin kita bisa menemukannya dalam sejarah metafisika.
B.     Sejarah Metafisika
Sejarah metafisika yang resmi dan sistematis bermula dari sejarah penamaan pengetahuan ini dengan metafisika yang dilakukan oleh para peneliti karya-karya Aristoteles. Pengertian metafisika secara bahasa, yang artinya setelah fisika menjadi bukti penamaan tersebut. Secara tidak resmi dan sistematis, sejarah metafisika telah dimulai ketika Adam diciptakan. Penulis yakin Nabi pertama ini manusia yang berpikir. Dengan sendirinya, ia juga melakukan praktek metafisika, yaitu minimal bertanya dan mencari jawabannya.
Aristoteles tidak pernah menamakan pengetahuan tersebut dengan nama metafisika. Istilah Metafisika muncul ketika para peneliti pemikiran Aristoteles menyusun karya-karya Aristoteles dan menempatkan pemikiran metafisika setelah fisika. Jadi, para penyusun karya-karya Aristoteles lah yang menamakan pengetahuan tersebut dengan nama metafisika. Sejak itu lah pengetahuan tersebut dinamakan metafisika.
Bertens sepakat bahwa nama metafisika tidak digunakan oleh Aristoteles. Oleh karena itu, seiring waktu orang mencoba menyimpulkan bahwa nama metafisika diduga berasal dari Adronikus, salah seorang yang menerbitkan karya-karya Aristoteles sekitar tahun 40 S.M. Ia menempatkan bahasan metafisika setelah bahasan fisika. Sejak itulah orang berpikir bahwa itulah asal usul nama metafisika. Hal ini ini diperkuat dengan ungkapan Yunani ta meta ta physica yang berarti hal-hal sesudah hal-hal fisik. Namun, sejak kira-kira tahun 1950-an pendirian tersebut tidak bisa dipertahankan lagi.   Di antara orang yang membantahnya adalah P. Moraux, seorang sarjana Perancis dan H. Reiner. Menurut Moraux, nama metafisika telah lama digunakan oleh penganut mazhab Aristotelian, jauh sebelum Andronikus menamakannya. Nama ini pertama kali diduga telah diberikan oleh Ariston, yang menjadi pimpinan mazhab Aristotelian, sekitar tahun 226 S.M. Sementara H. Reiner berpendapat bahwa nama metafisika telah muncul pada generasi pertama Aristoteles (wafat tahun 321 S.M.), yaitu sekitar tahun 300-an S.M.
Berdasarkan sejarah awal metafisika ini, sepertinya metafisika hanya berkenaan dengan penempatan pemikiran Aristoteles semata. Sehingga, asal usul metafisika dianggap sederhana, yaitu metafisika ditempatkan setelah fisika. Namun dalam perkembangannya, kajian metafisika tidak seremeh temeh asal usulnya. Tafsiran terhadap pengetahuan ini begitu beragam dan kompleks.
C.     Perkembangan Metafisika
Aristoteles dianggap peletak dasar metafisika. Namun sebenarnya praktek pemikiran metafisika telah terjadi sejak Thales (624-546 S.M.), yang dianggap sebagai Bapak filosof Yunani, mempertanyakan bahan dasar alam semesta. Bahkan, hemat penulis, sejak Nabi Adam diciptakan dan tinggal di Surga, praktek pemikiran metafisika telah terjadi.
Mengapa pertanyaan Thales dianggap pertanyaan metafisika? Karena pertanyaan tersebut bukan pertanyaan yang ecek-ecek. Ini pertanyaan mendasar; pertanyaan tentang sebuah hakikat. Pertanyaan yang sufer keren. Ia ingin mengetahui hakikat bahan dasar alam raya, yang belum pernah ditanyakan sebelumnya. Walaupun ia menjawab air, namun jawaban tersebut belum tuntas.
Mengapa Aristoteles dianggap peletak dasar metafisika? Alasan pertama karena istilah metafisika dimunculkan dalam karya-karya Aristoteles, tidak dalam karya-karya filosof lain. Alasan kedua karena pembahasan metafisika secara jelas dan sistematis hanya terdapat pada pembahasan filsafat Aristoteles.
Apa metafisika Aristoteles tersebut? Metafisika Aristoteles bisa dikategorikan dengan dua hal. Pertama, metafisika yang membahas tentang persoalan barang (matter) dan bentuk (form). Menurut Aristoteles, barang ialah materi yang tidak mempunyai bentuk. Ia hanyalah substansi belaka yang menjadi dasar segala wujud benda. Sementara bentuk adalah bangunannya yang memberikan kenyataan kepada benda. Hubungan antara barang dan bentuk ini bisa dilihat pada marmer dan benda yang terbuat dari marmer. Marmer adalah barang. Ia memberikan kenyataan kepada bentuk. Meja marmer, keramik marmer, atau patung marmer adalah bentuk dari marmer. Meja, keramik, dan patung adalah bangunan yang terbuat dari marmer.
Segala yang ada adalah barang yang berbentuk. Oleh karena itu, semua barang sudah mempunyai bentuk. Barang dalam satu keadaan adalah bentuk dalam keadaan yang lain. Papan yang membentuk rumah (menjadi bahan rumah) adalah barang, namun papan itu disebut bentuk dari kayu sebagai barang.
Menurut hemat penulis, barang yang dimaksud oleh Aristoteles adalah bahan atau bahan dasar. Ini sifatnya konkret. Sementara benda tertentu yang berbahan dasar dari barang itu adalah bentuk. Ini sifatnya abstrak. Menurut Aristoteles, hubungan antara barang dan bentuk tidak bisa dipisahkan. Di mana ada barang di situ juga ada bentuk. Gagasan Aristoteles mengenai hubungan keduanya tersebut membantah gagasan Plato yang memisahkan antara dunia idea (bentuk) dengan kenyataan (barang).
Metafisika barang dan bentuk ini tidak terkait langsung dengan konsep ketuhanan.  Yang terkait langsung dengan konsep ketuhanan adalah metafisika gerak. Ini menjadi kategori kedua metafisika Aristoteles. Gerak yang dimaksud di sini tidak sama dengan perpindahan tempat suatu benda. Gerak di sini adalah perubahan. Perpindahan tempat hanyalah salah satu sifat khusus dari perubahan. Menurut Aristoleles, semua gerak yang ada digerakan oleh penggerak pertama. Ia adalah Tuhan. Ia mengatur segala-galanya. Ia immaterial dan tidak berubah. Ia tidak bergerak  dan tidak digerakan. Ia adalah Aktus Murni atau pikiran murni (yang tidak henti-hentinya berpikir). Ia menjadi tujuan selain dirinya. Ia tentu saja bukan barang dan bentuk.
Dari sisi objeknya, yaitu apa yang bisa diketahui, Metafisika bisa dibedakan menjadi metafisika di wilayah sain (ontologi sain) dan metafisika di wilayah mistik (ontologi mistik). Metafisika di wilayah sains didefinisikan oleh Francis Bacon sebagai hukum-hukum alam, yaitu entitas yang tidak bisa disentuh oleh pengamatan inderawi. Bacon ini memang unik. Ketika mencari sebab-sebab dari peristiwa-peristiwa yang diamati oleh para ilmuwan, ia maju dari sebab-sebab fisik menuju sebab-sebab metafisik. Jadi bagi Bacon, ketika realitas di alam ini luput dari pengamatan panca indera maka itu lah metafisika. Namun, jangan salah paham. Bacon tidak sedang membicarakan tentang Tuhan, sebagai sesuatu yang luput dari pengamatan inderawi. Ia tidak mempercayai itu. Ia hanya mempercayai hukum-hukum alam.
Berbeda dengan Bacon, Thomas Aquinas justru mempercayai bahwa metafisika itu adalah pemikiran tentang Tuhan. Baginya metafisika diarahkan untuk mengetahui Tuhan. Renungkan kutipan berikut ini.
Thomas percaya bahwa akal budi dituntut ke arah ini hanya dengan merenungkan dunia alamiyah (untuk memahami Tuhan: dari penulis makalah). Dengan mashur, Thomas mengajukan bukti-bukti eksistensi Tuhan yang didasarkan pada analisis akal budi terhadap para pengada kontingen (dengan kata lain, pengada-pengada yang bergantung pada sesuatu yang lain dari dirinya agar dapat mengada atau agar dapat berprilaku sebagaimana adanya).
Siapakah “pengada”? Pengada adalah makhluk yang bereksistensi. Namun, ia tidak mampu melakukannya tanpa eksistensi Tuhan. Eksistensinya tergantung pada eksistensi Tuhan. Jadi, sebenarnya yang ada hanyalah eksistensi Tuhan. Yang lain hanya diadakan oleh Tuhan. Ini lah inti metafisika Thomas Aquinas.
Sebelum Aquinas, ada Plotinus, yang sistem metafisikanya sejalan dengan Aquinas. Metafisika Plotinus ditandai oleh konsep transendensi. Menurut Plotinus, di dalam pikiran terdapat tiga realitas, the one, the mind, dan the soul. The one adalah Tuhan. The mind adalah gambaran tentang Yang Esa. The soul mengandung satu jiwa dunia dan banyak dunia kecil.
Percis sama dengan esensi metafisika Aquinas adalah metafisika dalam filsafat Perennial. Metafisika tersebut ditujukan untuk mengetahui hakikat realitas Tuhan yang merupakan substansi dunia ini, baik material, biologis maupun intelektual. Filsafat Perennial melihat eksistensi-eksistensi secara bertingkat, realitas selalu terkait, dan bahwa semakin tinggi eksistensi semakin nyatalah ia.
Dari sini ditemukan kesamaan pandangan antara konsep yang terakhir ini (semakin tinggi eksistensi semakin nyatalah ia) dengan Lima Prinsip Kehadiran Ketuhanan (al-hadarat al-ilahiyyah al-Khams) yang disusun secara sistematis oleh Abu Thallib al-Makki (w.386 H/ 996 M). Kelima prinsip itu adalah doktrin metafisika mengenai beberapa tingkatan realitas. Mereka adalah Hahut (realitas absolut), Lahut (realitas menjadi, yaitu pribadi Tuhan), jabarrut (alam malaikat), malakut (alam ghaib), dan nasut (alam manusia).
D.    Metafisika dalam Agama
Filsafat sebagai suatu proses berfikir yang tersusun rapih, sistematis dan menyeluruh juga mempunyai obyek yaitu obyek material dan obyek formal. Obyek filsafat adalah segala yang ada, sedangkan segala yang ada mencakup yang kelihatan dan yang tidak kelihatan. Obyek yang kelihatan adalah dunia empiris sedangkan yang tidak kelihatan adalah alam ghaib atau metafisika.

Metafisika mengandung Klasifikasi yang meliputi Pertama, Metaphysica Generalis (ontologi); ilmu tentang yg ada atau pengada. Kedua, Metaphysica Specialis terdiri atas:
1)      Antropologi; menelaah tentang hakikat manusia, terutama hubungan jiwa dan raga.
2)      Kosmologi; menelaah tentang asal-usul dan hakikat alam semesta.
3)      Theologi; Kajian tentang Tuhan secara rasional dengan segala abstraksi yang memungkinkan melekat pada-Nya.

Metafisika umum membahas mengenai yang ada sebagai yang ada, artinya prinsip-prinsip umum yang menata realitas. Sedangkan metafisika khusus membahas penerapan prinsip-prinsip umum ke dalam bidang-bidang khusus: teologi, kosmologi dan psikologi. Pemilahan tersebut didasarkan pada dapat tidaknya diserap melalui perangkat inderawi suatu obyek filsafat pertama. Metafisika umum mengkaji realitas sejauh dapat diserap melalui indera sedang metafisika khusus (metafisika) mengkaji realitas yang tidak dapat diserap indera, apakah itu realitas ketuhanan (teologi), semesta sebagai keseluruhan (kosmologi) maupun kejiwaan (psikologi).

Filsafat datang sebelum dan sesudah ilmu pengetahuan; disebut sebelum karena semua ilmu pengetahuan khusus mulai sebagai bagian dari filsafat dan disebut sesudah karena ilmu pengetahuan khusus pasti menghadapi pertanyaan tentang batas-batas dari kekhususannya. Maka metafisika memiliki ruang lingkup Pokok Bahasan yang mencakup, pertama tentang kajian  Inkuiri ke apa yang ada (exist), atau apa yang betul-betul ada. Kedua tentang, Ilmu pengetahuan tentang realitas, sebagai lawan dari tampak (appearance)  Ketiga, Studi tentang dunia secara menyeluruh dengan segala Teori tentang asas pertama (first principle); prima causa  yang wujud di alam (kosmos).

Agama sebagai salah satu wahyu Tuhan atau kepunyaan Tuhan untuk manusia di alam ini. Agama adalah untuk manusia yang membicarakan cara bergul antara sesama manusia, manusia dengan makhluk lain, manusia dengan Tuhan, Malaikat dan bagaimana hubungan manusia dengan Tuhan. Sedangkan hubungan manusia dengan Tuhan adalah sesuatu yang metafisika. Sedangkan manusia adalah fisik dan hubungannya dengan Tuhan adalah metafisika. Tetapi yang jelas dalam pembahasan filsafat agama adalah pada aspek metafisiknya. Dengan demikian agama adalah obyek metafisik dari filsafat agama terutama tentang obyek material filsafat. Tetapi apabila dilihat dari sudut pandang obyek formal agama dipandang secara menyeluruh, bebas, obyektif, radikal tentang ajaran-ajarannya.

Pendekatan menyeluruh merupakan suatu proses dalam rangka mendapatkan gambaran utuh tentang suatu permasalahan yang sedang dibahas. Membahas agama secara filsafat tidak bersifat parsial tetapi komprehensip mengenai berbagai ajarannya. Pendekatan obyektif adalah pendekatan yang dapat digunakan secara nyata dan bersesuaian dengan realitas obyektif. Sehingga subyektif dalam pembahasan dapat dikurangi.

Dalam pendekatan obyektif memungkinkan seseorang terbebas dari subyektifitas dalam membahas tentang suatu agama karena agama mempunyai kemungkinan subyektifitas sangat tinggi. Hal ini dapat dicermati dari aspek orang yang meneliti agama tersebut. Karena peniliti agama biasanya adalah orang yang sudah beragama. Meskipun dengan tanpa terlalu curiga dapat juga seseorang yang telah mempunyai agama tertentu kemudian mempelajari agama lain mungkin dapat juga memandang secara obyektif keilmuan.

Pembahasan fislsafat agama adalah bebas, kebebasan tersebut dapat mengambil dua bentuk yaitu pertama, membahas dasar-dasar agama secara analitis, kritis tanpa terikat dan terbelenggu oleh ajaran-ajaran, dan tanpa ada kesimpulan atau tujuan menyatakan kebenaran suatu agama. Kedua, membahas dasar-dasar agama secara kritis dan analitis dengan maksud untuk mencari dan menyatakan kebenaran suatu agama tertentu, atau dapat juga bertujuan adan menjelaskan bahwa agama yang diteliti mempunyai ajaran yang tidak bertentangan dengan akal manusia. Hakekat agama sebagai wujud dari pengalaman religius manusia, hakikat hubungan manusia dengan Yang Suci (Numen) sakral: adanya kenyataan trans-empiris, yang begitu mempengaruhi dan menentukan, tetapi sekaligus membentuk dan menjadi dasar tingkah-laku manusia. Yang quddus itu dikonsepsikan sedemikian rupa sebagai Mysterium Tremendum et Fascinosum; kepada-Nya manusia hanya beriman, yang dapat diamati (oleh seorang pengamat) dalam perilaku hidup yang penuh dengan sikap "takut-dan-taqwa", pemikiran menuju pembentukan infrastruktur rasional bagi ajaran agama. Dalam kajian metafisika agama dan khususnya Islam salah satu tujuannya adalah untuk menegakkan bangunan fondasi teologis dan tauhid secara benar. Karena tauhid merupakan dasar dari ajaran Islam.

Kekokohan konsepsi metafisika agama (Islam) dimaksudkan untuk menjawab tantangan pendapat para pendukung materialisme -khususnya positifisme- yang mengingkari eksistensi immateri dan supra-natural, yang kedua hal tersebut adalah saripati dan hekekat substansi nilai keagamaan. Disinilah setiap pemikir agama harus melakukan -minimal- menjawab dua hal pokok yang menjadi tantangan kelompok meterialistik yang tidak meyakini hal-hal yang supraindrawi, immateri dan; Pertama: pemikir agama harus mampu membuktikan keterbatasan indera manusia dalam melakukan eksperimen dan menyingkap segala eksistensi materi alam semesta. Kedua: Membuktikan keberadaan hal-hal yang bersifat non-inderawi, namun memiliki eksistensi riil dalam kehidupan di alam kosmologi yang luas ini.

Ilmu metafisika adalah ilmu yg melebihi ilmu fisika. Berbeda dari pengertian ilmu metafisika dalam khasanah western science, Falsafah metafisika Islam adalah ilmu fisika yg dilanjutkan atau ditingkatkan sehingga masuk ke dalam ilmu bi al-ghoibi (ghaib atau rohani). Berkaitan dengan konsepsi keagamaan maka dengan ilmu metafisika akan terungkap apa itu agama secara lebih komprehensif. Kebenaran-kebenaran dan rahasia-rahasia agama yg selama ini dianggap misterius, mistik, ghaib, dan sebagainya akan menjadi sebuah konseptualisasi yang cukup nyata, relatif riel, dan dapat dijelaskan secara falsafi. Hal ini mirip dengan peristiwa-peristiwa kimiawi yg dulunya dianggap misterius, nujum, sulap, untuk menakut-nakuti, dsbnya, dengan ilmu kimia menjadi nyata, dan seolah-olah riel, dan dapat dijelaskan secara filosofis misalnya unsur air (H2O) Asam Klorida(HCL) Besi (Fe) dan lain sebagainya .

Dengan ilmu metafisika jelas bahwa agama tak lain terdiri dari hukum-hukum yang  secara konseptual ril seperti juga alam jagad raya yang tak lain terdiri dari hukum-hukum fisika, kimia, dan biologi. Hanya saja martabat dan dimensi hukum-hukum agama tersebut lebih tinggi dan bersifat hakiki, absolut serta jika dilihat secara filosofis nampaklah sangat sempurnanya alam ini. Tujuan pembahasan  metafisika adalah untuk membangun suatu sistem alam semesta yang dapat memadukan ajaran agama dengan tuntutan akal.

Dengan penjelasan yg masuk akal yang falsafi filosofis maka ajaran-ajaran agama dapat diterangkan secara logis sehingga keimanan semakin meningkat. Tanpa penjelasan yang  falsafi metafisis logis maka ajaran agama menjadi dogma. Tanpa penjelasan yang logis falsafai metafisis, juga maka ajaran agama sekedar pil yang harus di telan sehingga tidak akan dapat dihayati maksud dan tujuannya oleh umat beragama. Dari sebuah ritual dan perintah – perintah agama  yang membentuk berbagai ritualitas agama hanya bermakna sebagai beban  yang sangat berat bagi umatnya. Dengan metafisika ilmiah lah kita bisa menghargai betapa tanpa adanya agama maka manusia tidak mungkin percaya adanya Tuhan.

Problematika kajian metafisika tentang kosmos atau alam semesta (makrokosmos) bukanlah membicarakan alam semesta dalam pengertian entitas-entitas yang berbeda di alam melainkan semesta sebagai keseluruhan. Pada dasarnya tidak ada sesuatu halpun di alam  ini yang tidak dapat ditangkap dengan panca indra namun demikian, merupakan suatu kemustahilan untuk menangkap secara indrawi; suatu keseluruhan sebagai keseluruhan. Pembahasan tentang filsafat agama membutuhkan pemikiran yang radikal yang membahas sampai akar-akarnya, dalam arti mendalam.

E.     Manfaat Metafisika bagi Kehidupan

Dalam era modern ini banyak diantara manusia mulai mencermati dan akhirnya mendalami seni olah nafas tenaga dalam dan tenaga metafisika (ilmu ghaib). Hanya saja, tidak sedikit yang tidak bisa membedakan keduanya. Ditambah lagi ketika menpelajarinya tersesat menuju kemusyrikan karena disadari atau tidak, kekuatan ilmu yang didapatnya ternyata dibantu oleh bangsa jin.
Padahal Tenaga Dalam itu sebenarnya tenaga yang murni terdapat dalam diri manusia sendiri, sedangkan Tenaga Metafisika yang murni berada diluar tubuh manusia disebut Aura. Masalah yang muncul setidaknya ada dua hal :
1)      Teknik menpelajarinya
2)      Sesuai syariat Islam atau tidak.
Karunia Ilmu yang dilimpahkan-Nya kepada manusia, sebagai makluh yang dilebihkan dengan kelebihan yang sempurna dari makluh lainnya, (QS. 17:70), tidak terlepas kaitannya dengan ‘konsep manusia dalam islam’ yaitu khalifah paripurna yang mengendalikan “wujud sifat negatif” dan mendayagunakan “wujud sifat positif” dengan seluruh pontensi manusia untuk kemashalatan ummat manusia.
Energi adalah suatu kekuatan atau tenaga – gerakan aktif yang terus – menerus terjadi – dalam ilmu fisika adalah kekuatan yang dinyatakan oleh persamaan matematis ½ MC2, dimana C adalah kecepatan cahaya (300.000 Km/sec) dan M adalah massa benda tersebut.
Energi yang menyebabkan terjadinya ruang dan waktu, namun ruang dan waktu itu sendiri “tidak pernah ada” bagi Maha Pencipta Energi (QS. 57 – Al Hadid: 3 Dialah yang awal dan yang akhir, yang Zhakir dan yang Bathin dan Dia Maha mengetahui.
Teori “The Big Bang” atau teori “Demtunan Dahsyat” adalah teori yang masih dianut oleh para fisikawan sampai dengan saat ini. Namun dalam Al Qur’an Allah Azza Wa Jalla telah berfirman dalam surat al Anbiya (21), ayat 23: “…. bahwa langit dan bumi itu dahulu sesuatu yang padu, kemudian kami pisahkan keduanya…..”, dan dalam surat al A’raf ayat 54: “…. Allah menciptakan alam dalam enam massa….”
Pada dasarnya, Allah SWT menciptakan energi ini, diakomodasikan ke dalam suatu sistem tatanan besar yang terbagi menjadi dua sub sistem, masing – masing sebagai berikut:
  • Terakomodasi di dalam sub sistem ruang jadad raya alam semesta atau makrokosmos, termasuk benda-benda angkasa dan
  • Terakomodasi di dalam sub sistem, segenap makluh penghuni bumi ini.
Adapun dengan disempurnakan makluh manusia diatas makhluk – makhluk lain Ciptaan-Nya (QS al Israa: 70 “dilebihkan dengan kelebihan yang sempurna dari makluh lainnya….”), adalah sebagai pelecut, agar ditelaah lebih mendalam maknanya.
Ternyata diantaranya, diberikan kemanpuan dalam merekayasa Tenaha Metafisik, yang berada dan bersumber dari energi gelombang elektromagnetik yang menyelubungi tubuh dan diperkuat alam semesta di diluar tubuh manusia. Akan bermanfaat bagi kemaslahatan sesama ummat manusia, dan hubungan harmonisasi dengan alam sekitar, sesuai dengan tugasnya sebagai khalifah dimuka bumi.
Tenaga Metafisika adalah gelombang energi yang menyelubungin tubuh yang dinamakan AURA. Energi ini dapat diperkuat melalui penyerapan energi dari alam semesta. Pada diri kita, Tenaga Metafisika (AURA) ini berada pada sekujur tubuh, menyelubungi dan menyelimuti kontur tubuh. Pada umunnya aura ini kehadirannya tidak kita sadari. Pancaran aura, terekspresikan sebagai pendaran cahaya dengan berbagai variasi lapisan berwarna, sesuai dengan tinggi rendahnya frekwensi dan panjang gelombang yang dipancarkan. Peningkatkan intensitas aura pada tubuh kita sangat dimungkinkan. Dengan meningkatkan kemanpuan rekatasa dalam olah gerak dan olah nafas agar terbuka kesiapan dalam menerima interaksi dengan energi alam.
Aura ini adalah pancaran energi yang nyata-nyata telah dianugerahkan-Nya kepada kita bermanfaat sebagai tirai selubung tubuh terhadap gangguan energi negatif dari luar sistem tubuh kita. Namun ketebalan aura ini sangat relatif, bergantung pada upaya kita sendiri dan atas kehendak-Nya.
Keberadaan energi ini bisa divisualkan dengan kamera kirlian atau camera 2000. yaitu jenis kamera yang dapat mendeteksi sekaligus menggambarkan lingkaran energi yang menyelubungi manusia. Setiap makhluk yang bernyawa pasti memiliki energi metafisika ini. Aura pada manusia adalah semacam energi yang menyelubungi sebagai pelindung tubuh yang ada sejak lahir. Sebenarnya setiap makhluk hidup yang memiliki cairan dalam tubuhnya pasti memiliki aura ini. Hal itu terjadi karena adanya proses yang rumit dalam tubuh makhluk itu. Pada manusia proses oksida-reduksi, gesekan cairan dengan dinding pembuluh, pelepasan energi makanan, dan banyak lagi proses lainnya menjadikan manusia memiliki aura ini. Itulah sebabnya kalau ada kerusakan fungsi tubuh maka akan terlihat pada aura.
Energi aura terdiri dari ion-ion positif dan negatif sehingga dapat dimodifikasi dengan kekuatan tanpa batas, dengan catatan energi yang dimiliki orang tersebut besar sekali, dan itu bisa dilatih. Energi ini mempunyai jenis dan ras tersendiri dan mempunyai sifat hukum tersendiri. Kegunaannya sangat banyak sekali, tanpa batas. Asal kita mau memperkuatnya dengan jalan menyerapnya dari alam semesta. Dengan kekuatan metafisik ini, kita dapat melakukan; pertahanan diri, lari cepat, melawan dan menghancurkan jin, pengobatan, terawangan, pukulan jarak jauh dan ribuan kegunaan lainnya.
Tenaga Metafisika (AURA) yang memiliki gelombang “elektromagnetik” itu, dapat dimodifikasi tanpa batas, bagi yang manpu mengembangkannya karena rajin berlatih, untuk menyerap tenaga metafisika dari alam semesta, berinteraksi dengan energi makrokosmos.
Adapun manfaat tenaga metafisika yang dapat diperkuat dengan menyerap energi alam dikelompokan didalam meningkatkan:
  1. Kondisi dan kemanpuan fisik
Daya tahan tubuh, melipatgandakan tenaga, menambah ketajaman panca indera, membangkitkaan indera ke enam, ilmu meringankan tubuh.
  1. Kondisi mental
Mempertebal percaya diri, memperkuat memori otak, dapat merangsang daya kerja otak agar bisa menampung memori lebih cepat dan tahan lama.
  1. Fungsi hubungan sosial
Dapat meningkatkan kesehatan dan daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit dan membantu pengobatan.
  1. Ilmu pengetahuan dan teknologi:
Membuka cakrawala kejadian tentang energi yang telah ‘diketahui’’ sebagai formulasi dari persamaan E = mC2, dimana C adalah kecepatan cahaya – teori relativis Einstein sebagai penemuan dari Teori Fisika modern yang sampai saat ini terus dikembangkan melalui teori Fisika Quamtum yang tidak bisa dipisahkan dari fenomena Quantum Electrodynamics (QED), yaitu terdapat interaksi cahaya dan materi (foton) dengan ketepatan yang luar biasa.
Fenomena ini terus dikembangkan oleh para fisikawan quamtum yang kemudian pada tahun 1982 dengan percobaan Alain Aspect di Paris menemukan fenomena sebagai berikut:
  1. Energi tidak hilang oleh jarak.
  2. Bisa terhadi seketika (lebih cepat dari kecepatan cahaya)
  3. Bisa menghubungkanb lokasi – lokasi tanpa melintasi ruang.
Kerbehasilan dari aplikasi praktis tenaga dalam yang bisa dimanfaatkan secara optimal dalam kehidupan sehari-hari, memunculkan berbagai macam manfaat yang bisa kita dapatkan, misalnya:
  1. Media Pengobatan Penyakit
Kesehatan seseorang bisa dilihat dari tebal-tipis Aura yang disebabkan ketidakseimbangan metabolisme tubuh. Seseorang yang diperkuat Aura dengan menyerap energi alam atau dibantu terapis sangat membantu metabolisme tubuh lebih baik. Seseorang yang memiliki Aura yang kuat manpu menrubah frekwensi gelombang elektromagnetiknya untukk progam pengobatan: regenerasi sel, peningkat antibody, penyeimbang metabolisme tubuh, penyeimbang kimia tubuh dan sebagainya.
  1. Media Perlindungan Diri dari Serangan Fisik
Aura yang kuat bisa diprogam sebagai selubung pertahanan diri (shield) yang menahan serangan fisik dan non fisik, atau bisa dipergunakan untuk pukulan jarak jauh yang mementalkan lawan. Semua itu dengann syarat lawan dalam kondisi emosi karena cara kerjanya menpengaruhi aura lawan yang sedang karena ion-ion yang ada ditubuh orang tersebut tidak stabil sehingga menyebabkan overload parsial adalah ketidakseimbangan ion positif dan negatif tubuh seseorang akibatnya apabila kita tembakan ion negatif lain yang lebih besar maka akan terjadi tumbukan ion, akibatnya orang itu terpental.
  1. Media Perlindungan Diri dari Serangan Non fisik
Aura yang kuat bisa untuk melawan bangsa jin bahkan menbunuhnya dengan menciptakan selft combustion dalam tubuh jin. Kita bisa menfokuskan aura membentuk gelombang elektromagnetik untuk mengatasi gangguan energi negatif di beberapa tempat yang disebabkan berbagai hal, mulai dari gangguan jin atau bahkan “dikondisikan” oleh orang lain, agar orang-orang yang berada di sekitar tempat tersebut menjadi tidak betah atau bahkan menjadi sakit. gelombang ini bahkan bisa menetralkan tempat yang dikenal seram dalam radius puluhan kilometer persegi, atau meliputi satu kota.
  1. Media Peningkatan Kepekaan dan Pengendalian Diri
Aura yang diperkuat akan menjadi pembangkit dan trigger bagi Extra Sensory Persepsion dalam diri sendiri. Salah satunya mensupport fungsi lain kelenjar pituitary dalam menangkap signal – signal yang tidak bisa ditangkap panca indera. Signal – signal ini menjadi input dan output otak yang berupa feeling, visual dan audio.kemanpuan ini yang dikenal masyarakat dengan istilah; terawangan atau mata bathin, atau dalam bahasa sunda disebut “ilmu ngimpleng”. Ilmu ini sangat berguna untuk menlihat bangsa jin. mengetahui kejadian dari jarak jauh, juga bisa dipergunakan untuk mencari barang hilang
  1. Media Pengendalian Cuaca
Mekanika quantum, yaitu suatu loncatan besar dari suatu tingkatan ke satu tingkatan lain yang lebih tinggi, bisa dilakukan oleh manusia. Baik yang berkaitan dengan tubuhnya maupun yang berkaitan dengan alam, diantaranya dengan cuaca.Tenaga Metafisika atau biasa disebut aura terdiri dari ion positif dan negatif juga — yang saat ini sudah bisa difoto melalui Aura Camera 3000. energi ini apabila difokuskan ke awan, misalnya, maka akan berpengaruh pada ion-ion yang menyusun awan tersebut.
Mekanika quantum akan terjadi dengan lebih baik apabila terjadi dalam unsur yang tidak berbentuk fisik, dalam hal ini awan yang terdiri dari molekul Hidrogen, Oksigen dan ion-ion positif serta negatif, merupakan media yang bisa diamati jika terjadi pemfokusan ataupun netralisir (penghilangan) awan yang dilakukan oleh energi manusia. Hal inilah yang menjadi dasar kenapa manusia bisa mengendalikan cuaca.
  1. Media Pengendalian Massa
Otak manusia mengeluarkan gelombang tertentu yang bisa mempengaruhi orang lain, misalnya ia memanggil atau menasehati orang lain. Hal ini bisa terjadi secara langsung (face to face) ataupun melalui alat bantu lainnya, seperti telephone, internet ataupun televisi. Contoh sederhana adalah apabila seorang anak mengalami kecelakaan, biasanya seorang ibu mempunyai firasat tertentu, baik itu berupa kecemasan terhadap anaknya, spontan memanggil nama anaknya, menjatuhkan benda yang dipegangnya, dll.
Berdasarkan hal ini, sebetulnya manusia bisa berhubungan dan mempengaruhi manusia lain ataupun sekelompok orang yang berada di satu tempat dengan memanfaatkan gelombang energi otaknya tersebut, hanya tentu saja untuk mempengaruhi banyak orang diperlukan penguatan energi gelombang otak melalui metode tertentu yang disebarkan melalui pemantulan pada ionosphere. Hal ini yang dilakukan oleh aura yang kuat dalam mensupport gelombang energi otak untuk menpengaruhi otak orang lain, semakin kuat konsentrasi dan aura meningkatkan kualitas dan kuintitas orang yang bisa dipengaruhinya.




Bab III
Penutup
3.1. Kesimpulan
Secara istilah, metafisika adalah bagian dari ontologis yang mengkaji persoalan-persoalan realitas tanpa batas. Metafisika menelusuri hakikat keberadaan, kebenaran, dan pengetahuan. Ia mengkaji yang ada yang bisa diketahui.
Metafisika Aristoteles bisa dikategorikan menjadi dua. Pertama metafisika yang membahas tentang hubungan antara barang (matter) dan bentuk (form). Metafisika ini tidak berhubungan dengan konsepsi ketuhanan secara langsung. Kedua metafisika yang membahas gerak. Metafisika ini berhubungan dengan konsepsi ketuhanan secara langsung dengan penyebutan Tuhan sebagai Penggerak Pertama.
Metafisika juga bisa dibedakan menjadi metafisika di wilayah sain (ontologi sain) dan metafisika di wilayah mistik (ontologi mistik). Metafisika diwilayah sain dipelopori oleh Francis Bacon, sebagai perintis filsafat ilmu. Metafisika di wilayah mistik dikembangkan oleh Plotinus, Thomas Aquinas, dan para pemikir filsafat Perennial.
Ada banyak manfaat dari ilmu metafisika diantaranya; media pengobatan penyakit, media perlindungan diri dari serangan fisik, media perlindungan diri dari serangan non fisik, media peningkatan kepekaan dan pengendalian diri, media pengendalian cuaca, media pengendalian masa, dan lain sebagainya.

3.2. Saran
Mempelajari dan memperdalam ilmu merupakan sesuatu yang baik bagi kita, termasuk ilmu Metafisika. Dalam mempelajari dan memperdalam ilmu kita harus mempunyai batasan-batasan sampai dimana kita mempelajari dan memperdalam ilmu tersebut, jangan sampai kita terbawa atau tersesat dalam ilmu yang kita pelajari, dan jangan sampai kita lupa kepada sang pencipta kita.

Daftar Pustaka
Bertens, Kees. 1989. Sejarah Filsafat Yunani. Jakarta: Kanisius.
Glasse, Cyril. 1999. Ensiklopedia Islam (Ringkas). Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Solomon, Robert C. & Higgins, Kathleen M. 2002. Sejarah Filsafat. Jogjakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Suriasumantri, Jujun S. 1999. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia bebas.
Kees Bertens. Sejarah Filsafat Yunani. (Jakarta: Kanisius.1989). Cet. Ke.6.
Christ Verhaak. Francis Bacon: Perintis Filsafat Ilmu Pengetahuan. Salah satu makalah dalam buku Hakikat Pengetahuan dan Cara Kerja Ilmu-Ilmu. Disusun oleh Tim Redaksi Driyarkara. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 1993).

Frithjof Schoun dan Houston Smith dalam Ahmad. Filsafat Umum.

Comments

Popular Posts

GAMBAR TEKNIK DALAM PERANCANGAN INSTALASI LISTRIK